BOOK REPORT
PARADIGMA HOLISTIK
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas mandiri
Mata Kuliah : Ketepaduan Islam Dan Iptek
Dosen : Edy Chandra, S.Si, M.A
Disusun Oleh:
59461264
IPA-Biologi / D
JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SYEKH
NURDJATI
CIREBON
2012
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Berbagai
problem dan krisis global yang serius pada zaman memasuki millenium ketiga
sekarang adalah krisis kompleks dan multidimensional. Krisis ekologis, kekerasan,
dehumanisasi, moral. Kriminalitas, kesenjangan yang kian memprihatinkan, serta
ancaman kelaparan dan penyakit yang masih menghantui dunia merupakan problem-problem
yang saling terkait satu sama lainnya.
Uraian
diatas melukiskan kecenderungan problem kemanusiaan global yang makin
terkaitan, karena paradigma Cartesian-Newtonian bersifat analitis-reduksionis,
mekanistik, dan linier, sehingga dia akan memilah-milah dan dinamika realitas.
Paradigma
ini menjadi dominan setelah paradigma teologis organismik Aristotelean yang
dominan di Abad Pertengahan mulai di pertanyakan orang setelah terjadinya
revolusi Copernicus yang mendobrak kosmologi heliosentris dan menggantikannya dengan pandangan
kosmologis yang geosentris.
Revolusi
Copernicus terus bergulir dengan ditemukannya tiga hukum mantematis tentang lintasan planet sekitar matahari oleh
Johannes Kepler. Baik Kepler maupun Galileo bekerja dengan dsata-data empiris
kuantitatif. Kemudian Newton berhasil menurunkan rumus matematis empiris itu
secara deduktif, mengikuti metoda Rene Descrates, dari aksioma-aksioma tenbtang
gerak yang dikenal sebagai hukum-hukum Newton. Sukses teori Newton diteruskan
oleh suksesnya teori-teori lain yang menggunakan gabungan metoda hipotetiko
deduktif yang rasional spekulatif.
Dalam
pandangan positivisme baru, yang justru lahir ketika paradigma ontologis sains
yang mekanistik itu runtuh, sains bukanlah berbicara tentang realitas itu
urusan metafisika tetapi mengenai hitungan matematis menghasilkan
prediksi-prediksi kuantitatif empiris yang diperlukan oleh manusia dalam
menaklukan alam secara teknologis. Itulah sebabnya revolusi-revolusi
paradigmatik kecil di bidang-bidang lain untuk meruntuhkan paradigma
Cartyesian-Newtonian difisika sendiri secara tuntas. Diperlukan asumsi-asumsi
baru yang semuanya mengukuhkan semua paradigma baru yang disebut paradigma
holisme sinergetik dimana realitas alam semesta bukanlah dilihat sebagai sebuah
kumpulan partikel-partikel lepas yang berinteraksi satu sama lain belaka.
Walaupun begitu ada benang merah yang menghubungkan ketiga wawasan itu yaitu
pandangan holistik.
1.2 Identitas Buku
a.
Judul Buku : Paradigma Holistik
b.
Pengarang : Husain Heriyanto
c.
Penerbit : Teraju
d.
Tahun Terbit : Januari 2003
e.
Cetakan : Pertama
BAB II
RESUME
A. HEGEMONI PARADIGMA CARTESIAN-NEWTONIAN
Peradaban modern yang dibangun
sejak abad ke-17 M tidak mungkin dipahami tanpa mengenal para paradigma
Cartesian-Newtonian. Karakter peradaban ini dicirikan oleh paradigma
Cartesian-Newtonian.
Paradigma Cartesian-Newtonian telah
menghemoni cara pandang manusia modern, karena cara pandang ini telah menjadi
bagian cara berada dari system, pola, dan dinamika moderenisme. Terlepas adri
kenyataan apakah manusia modern menyadari hal tersebut atau tidak, Van Peursen
menyatakan bahwa pengalaman sehari-hari tidak berdiri dan lepas dari filsafat,
dan ia menyatakan bahwa gambaran tentang dunia yang dianut manusia modern
dipengaruhi oleh cara pandang sains modern.
Sains telah menentukan wajah abad
masa kini ; ia mengkarakterisasi peradaban barat (modern). Sains tidak pernah
lebih berhasil dan berpengaruh besar seperti pada kehidupan kita sekarang.
Namun, gagasan-gagasan (prinsip-prinsip dasar) sainms itu sendiri asing bagi
kebanyakan orang.
Hegemoni paradigm
Cartesian-Newtonian terhadap pandangan dunia terkait erat dengan kenyataan
sejarah bahwa peradaban modern dibangun atas dasar ontology, kosmologi,
epistimologi, dan metodologi yang dibentuk oleh penggerak moderenisme, yaitu
Rene Descartes dan Isaac Newton. Tanpa bermaksud mengesampingkan tokoh-tokoh
ilmuwan dan pemikir lainnya.
Oleh karena itu, study lebih
mendalam terhadap asumsi-asumsi dasar paradigm Cartesian-Newtonian merupakan
pintu masuk untuk memahami epos kebudayaan dan zeitgeist peradaban modern.
Kita juga perlu melacak factor-faktor sosio-kultur-historis yang
melatarbelakangi munculnya paradigma ini dan sekaligus menelaah factor-faktor
kondisional, mengapa ia mampu menjadi paradigm standar manusia modern dalam
mempresepsi realitas selama tiga ratus tahun. Banyak orang menganggap pandangan
dunia mekanis sebagai filsafat yang benar tanpa merasa terdorong untuk
mentransformasi dunia menurut pandangan dunia itu.
Selain itu, kita akan meninjau
konsekuensi-konsekuensi dan implikasi-implikasi hegemoni paradigma
Cartesian-Newtonian terhadap kehidupan manusia modern kontemporer pada umumnya
baik pada tataran teoritis maupun pada tataran praktis.
B. PENGERTIAN PARADIGMA CARTESIAN-NEWTONIAN
Penggunaan istilah paradigma dalam
frase’paradigma Cartesian-Newtonian’ mengacu kepada pengertian generic yang diberikan
oleh Thomas Kuhn, namun dalam makna yang lebih luas. Menurut A.F.Charmers,
paradigma bagi Khun juga berguna dalam membimbing penyelidikan dan interpretasi
terhadap fenomena yang diobservasi.
Sementara itu, kita menggunakan
istilah paradigma Cartesian-Newtonian dalam makna yang lebih luas. Paradigm
disini berarti suatu pandangan dunia atau cara pandang yang dianut secara
pervasive dan terkandung didalamnya asumsi-asumsi ontologism dan epistimologis
tertentu, visi realitas, dan system nilai. Dengan demikian, paradigma
mengandung dua komponen utama, yaitu prinsip-prinsip dasar dan kesadaran
intersubjektif.
Penggunaan nama Cartesian-Newtonian
pada frase paradigma Cartesian-Newtonian didasarkan pada tiga pertimbangan
pokok. Pertama, Hal ini banyak diakui
oleh sejarawan, cendikiawan, dan filsuf. Peristiwa-peristiwa monumental sepeti
revolusi ilmiah, revolusi industry, dan abavd pencerahan tidak terlepas dari pengaruh pemikiran kedua
tokoh modern ini. Mengomentari pernyataan Charles Gilliipsie3 yang
menyebut descrates berhasil sampai
revolusi ilmiah tapi gagl setelah munculnya deklarasi indepedensi sains dari filsafat, Seyyed Hossein Nasr
mengatakan :
Meski pun sins modern
mendeklarasikan independensinya dan aliran filsafat tertentu, namun dirinya
sendiri tetap berdasarkan sebuah pemahaman filosofis particular baik tentang
karakteristik alam maupun pengetahuaan kita tentangnya, dan unsure terpenting
di dalamnya adalah Cartesianisme yang bertahan sebagai bagian inheren dari
pandangan dunia ilmiah modern.
Kedua,
kedua tokoh tersebut dapat mewakili filsafat dan sains modern. Jika Descrates
dikenal sebagai Bapak filsafat modern, maka Newton dijuluki sebagai tokoh
pembangunan sains modern dengan mazhab kosmologi dan fisika klasik Newtonian
yang berpengaruh besar terhadap dunia modern sampai sekarang.
Ketiga,
keinginan memfokuskan pembahasan kepada pemikiran ontologis dan
epistimologis Descrates serta kosmologis Newton yang banyak memiliki titik
singgung dan kesamaan prinsip-prinsip, yang kemudian membentuk paradigma apa
yang kita sebut sebagai paradigma Cartesian-Newtonian. Prinsip-prinsip dasar
paradigma ini akan diuraikan pada bagian subbab mendatang.
C. ASUMSI PARADIGMA CARTESIAN-NEWTONIAN
Pemikiran
Descrates
Rene Descrates (1596-1650) dikenal sebagai dikenal sebagai Bapakb
filsafat modern. Kesadaran modern Cartesian pun mulai berkembang menjadi
kesadaran dunia global. Descrates menulis tiga karya utama.
Descartes mengajukan sebuah adagium
terkenal yang merupakan primum philosphicum (kebenaran filsafat yang pertama):
“Cogito ergo sum”, I think. Hence i’m (Saya berpikir, maka saya ada). Disini
kata cogito bermakna berpikir atau sadar dalam arti yang lebih luas. Kesadaran
cogito ini ia canangkan sebagai kesadarn subjek yang rasional. Untuk
menunjukkan keapriorian cogito, ia menggunakan metode kesangsian. Keadaran
tidak dapat menyangkal kesangsian itu sendiri.Karena keraguan itu menunjukkan
aktivita berpikir, maka eksistensi rasio terbukti dengan sendirinya
(self-efident). Dengan kata lain, segala sesuatu dapat diragukan keberadaannya
kecuali kesadaran subjek itu sendiri. Pengukuhan eksistensi kesadaran cogito
secara self-efidentdan keberdahuluannya terhadap realitas eksternal
menggambarkan tendensi ego subjektivisme-rasionalitas Descartes.
Metode kesangsian Descartes juga
merupakan jalan untuk memperoleh kepastian pengetahuan yang begitu ia idamkan.
Ia mencanangkan suatu proyek raksasa untuk memberi pendasaran filosofis seluruh
jenis ilmu pengetahuan melalui sebuah metode tunggal yang ia tawarkan. Ia
menulis, “Untuk menemukan kebenaran, adalah niscaya dalam kehidupan kita untuk
meragukan, sejauh mungkin, segala sesuatu.”
Upaya Descartes untuk mematekikakan
seluruh jenis pengetahuan manusia selaras dengan asumsi kosmologisnya yang
memandang alam memiliki struktur matematis.Ia menulis, “Saya tidak menerima apa
pun sebagai kebenaran jika tidak dapat dideduksi dengan gambaran matematika,
dari pengertian-pengertian umum yang kebenaran-kebenarannya tidak dapat kita
ragukan. Semua fenomena alam dapat dijelaskan dengan cara ini (deduksi
matematika).”
Untuk mencapai pengetahuan universal
Descartes menggunakan metode universal yang memberi pendasaran bagi kesatuan
ilmu-ilmu.Ia membuat empat tahapan atau prinsip. Pertama, jangan pernah
menerima apa pun sebagai benar hal-hal yang tidak diketahui secara jelas dan
terpilah (clearly and distincly), dan hindari ketergesa-gesaan dan prasangka.
Kedua, membagi kesulitan yang akan di uji menjadi bagian-bagian sekecil mungkin
agar dapat dipecahkan lebih baik. Ketiga, menata urutan pikiran mulai dari
objek yang paling sederhana dan paling mudah untuk dimengerti, kemudian maju
sedikit demi sedikit menurut tingkatannya sampai kepada pengetahuan yang lebih
kompleks.Keempat, memerinci keseluruhan dan meninjau kembali semua secara umum
sedemikian sehingga diyakini tidak ada yang terabaikan.Tahapan pertama adalah
prinsip intuisi kritis, tahapan kedua adalah prinsip analisis, tahapan keiga
adalah prinip sintesis, dan tahap yang keempat adalah prinsip enumerasi.
Sangat jelas terlihat upaya Descartes
untuk mematikasasi alam (mathemtization of nature) mendorongnya berkesimpulan
bahwa alam raya tidak lain adalah sebuah mesin raksasa. Dalam pandangan
Descartes, alam bekerja sesuai dengan hukum-hukum mekanik, dan segala sesuatu
dalam materi alam dapat diterangkan dalam pengertian tatanan dan gerakan dari
bagian-bagiannya.Tidak ada tujuan, kehidupan, dan spiritualitas dalam alam
semesta.
Capra menulis, “Gambaran alam mekanik
ini telah menjadi paradigma ilmu pada masa setelah Descartes.Gambaran ini telah menuntun semua
pengamatan ilmiah dan perumusan semua teori fenomena alam hingga fisika abad
kedua puluh menghasilkan suatu perubahan yang radikal. Seluruh penjelasan
tentang ilmu mekanistik pada abad ke tujuh belas, delapan belas, dan sembilan
belas, termasuk teori agung Newton, tidak lain adalah perkembangan dari
pemikiran Descartes. Descartes telah memberkan kerangka ilmiah pada umumnya, yaitu pandangan alam sebagai mesin
sempurna, yang diatur oleh hukum-hukum matematis yang pasti.
Pemikiran
Newton
Revolusi ilmiah mencapai puncaknya, sebagaimana yang dikonfirmasi oleh hampir seluruh sejarawan sains, pada
Isaac Newton, yang upaya sintesisnya dalam upaya principiamenentukan pemahaman tentang alam (Order Of Nature) tidak hanaya dalam sains, tetapi juga dalam kebudayaan
sains hingga saat ini. Newton mengembangkan suatu formulasi pandangan-Dunia
mekanistik-matematis dan lengkap, sehingga menghasilkan sintesis agung karya
Copernicus, Kepler, Bacon, Galileo, dan Descartes.
Dari penelitiannya, jelaslah bahwa Newton adalah seorang Cartesian yang
mempublikasikan Principia, dan ketika
seseorang tersebut, ia menemukan sebuah karya yang mengagumkan: Newton membuat
pandangan-dunia Cartesian dapat dipertahankan melalui falsifikasi pada
detail-detailnya. Dengan kata lain, meskipun fakta-fakta (ilmiah) Descartes
salah dan teori-teorinya tidak didukung (oleh Newton), namun pandangan sentral
Cartesian bahwa dunia ini adalah mesin besar yang terdiri dari materi dan gerak
yang tunduk kepada hukum-hukum matematika yang sepenuhnya divalidasi oleh
Newton.
Asumsi-asumsi
paradigma Cartesian-Newtonian, diantranya :
1. Subjektivisme-antroposensistrik
Prinsip ini mempresentasikan modus khas kesadaran
modernisme bahwa manusia merupakan pusat dunia. Newton menganut pandangan
antroposentrisme yang sangat berambisi menjelaskan seluruh fenomena alam raya
melalui mekanika yang dirumuskan melalui matematika.
2. Dualisme
Penganut paradigma Cartesian-Newtonian membagi realitas menjadi subjek dan
objek, manusia dan alam, dengan menempatkan superioritas subjek atas objek.
Dualisme ini juga meliputi pemisahan yang nyata dan mendasar antara kesadaran
dan materi, antara pikiran dan tubuh, antara jiwa cogitans dan benda exstensa,
serta antara nilai dan fakta.
3. Mekanistik-deterministik
Sesuai dengan paham mekanistik, paradigma
Cartesian-Newtonian menganggap
realitas dapat dipahami dengan menganalisis dan memecah-mecahnya menjadi
bagian-bagian kecil, lalu dijelaskan dengan pengukuran kuantitatif. Hasil
penyelidikan dari bagian-bagian kecil itu lalu di generalisir untuk
keseluruhan. Jadi, dalam pandangan mekanistik, keseluruhan adalah identik
dengan jumlah dari bagian-bagiannya. Asumsi deterministik memandang alam
sepenuhnya yang dapat dijelaskan, diramal, dan dikontrol berdasarkan
hukum-hukum yang deterministik (pasti, percaya) sedemikian rupa sehingga
memperoleh kepastian yang setara dengan kepastian matematis.
4. Reduksionisme-atomistik
Alam semesta semata-mata dipandang sebagai mesin
yang mati tanpa makna simbolik dan
kualitatif, tanpa nilai, tanpa cita rasa etis dan estetis. Paradigma ini
mengangap alam raya, juga realitas secara keseluruhan, terbangun atas
balok-balok bangunan dasar materi yang terdiri dari atom-atom. Perbedaan antara
satu materi dengan materi yang lainnya hanya disebabkan oleh perbedaan kuantitas
dan bobot.
5. Instrumentalisme
Modus berpikir dalam sains modern adalah berpikir
instrumentalistik. Artinya, kebenaran suatu pengetahuan atau sains diukur dari
sejauh mana ia dapat digunakan untuk memenuhi kepentingan-kepentingan material
dan praktis
6. Materialisme-saintisme
Sebagai konsekuensi alamiah dari pandangan
dualisme, mekanisik-deterministik, atomisme, dan instrumentalistik yang
dikandung, paradigma Cartesian-Newtonianjuga bertendensi kuat untuk menganut paham materialisme-saintisme
(materialisme ilmiah) atau dikenal pula sebagai positivisme. Positivisme atau
saintisme adalah sebuah pandangan-dunia yang menempatkan metode-metode ilmiah
yang eksperimental sebagai satu-satunya metode dan bahasa keilmuan yang
universal sehingga segala pengetahuan yang tidak dapat diverifikasi oleh metode
itu tidak bermakna apa-apa.
D. REKONSILIASI KESADARAN DAN MATERI
Langkah pertama dan terpenting untuk mengatasi paradigma
Cartesian-Newtonian, seraya
menawarkan paradigma baru yang holistik adalah menyelesaikan problem dualisme.
Dualisme adalah salah satu
akar persoalan utama yang mengkarakterisasi pelbagai problem dan krisis
global peradaban modern.
Mekanistik-determinisme,
misalnya, ini merupakan suatu bentuk dari
pengejawantahan pandangan dualisme. Kesadaran dengan realitas eksternal,
khususnya alam semesta. Antroposentrisme merupakan manifestasi dualisme yang
menekankan subjektivitas manusia. Reduksionisme muncul dari dualisme yang
memisahkan nilai dan fakta, subjek dan objek. Patriarkalisme merupakan bentuk
dualisme yang diterapkan pada gender. Rasialisme, chauvinism, individualisme,
egoisme-sistematik merupakan manifestas dualisme secara sosiologis, moral dan
psikologis.
Problematika yang
ditimbukan dualisme Cartesian jauh lebih meluas dan pervasif daripada dualisme
Plato karena ia bersimbiosis degan subjektivisme, antroposentrisme,
mekanisme-reduksionisme, saintisme, dan baconianisme (tekhnologi). Dengan kata
lan, dualisme Cartesian telah ditransformasikan dan dimanifestaikan kedalam
jantung peradaban modern dengan segenap asumsi, visi, sistem nilai, dan
aktivitasnya.
Karakter pertama dalam sistem paradigma holistik-dialogis
adalah pandangan ontologis yang mendekonstruksi realitas yang padat, beku dan
statis. Sistem paradigma holistik-dialogis membalikkan skema metafisika
Aristotelean.
Karakter kedua filsafat
holistik-dialogis adalah sibernetik ekologis. Maksudnya adalah sebagai suatu
pandangan yang memperlakukan alam raya sebagai sistem hidup yang memiliki
sistem pengendalian dan pengaturan diri.
Karakteristik ketiga paradigma
holistik-dialogis berkaitan dengan pandangan antropologisnya bahwa “subjek”
merupakan pengertian yang berkorelasi dengan subjek-subjek lain. Paradigma
holistik juga berkarakter realis pluralis, kritis konstruktif, dan
sintesis-dialogis. Oleh karena dibangun atas dasar dialog dan sintesis, maka
paradigma holistik ini dapat berdialog dengan pelbagai wilayah peradaban
manusia, seperti dunia sains, kebudayaan kontemporer dan realitas kehidupan
global dengan segenap problematikanya.
BAB III
KELEBIHAN DAN KEKURANGAN
1. Kelebihan
-
Menjelaskan tentang Peradaban modern.
-
Menjelaskan tentang Hegomoni Paradigma Cartesian-Newton terhgadap pandangan dunia.
-
Menjelaskan tentang Asumsi-asumsi paradigma Cartesian-Newtonian yang berpengaruh besar terhadap
perkembangan zaman.
2. Kekurangan
Menurut saya, dalam buku ini tidak banyak kekurangan dikarenakan bahsa yang mudah
difahami dan tidak rumit untuk dimengerti. Tetapi ada satu yang mungkin bisa
menjadi bahan perbaikan adalah Cover yang kurang menarik sehingga oleh pembaca
krang diminati.
0 komentar:
Posting Komentar